Penjelmaan Seruni yang terhimpit batucadas di dalam lubang
Cerita
rakyat
Dahulu
kala, di sebuah perkampungan terpencil di pinggiran Danau Toba Sumatera Utara,
hiduplah sepasang suami-istri dengan seorang anak perempuannya yang cantik
jelita bernama Seruni.
Seruni
sangat rajin membantu orang tuanya bekerja di ladang. Setiap hari keluarga
kecil itu mengerjakan ladang mereka yang berada di tepi Danau Toba, dan
hasilnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Suatu
ketika, Seruni pergi ke ladang seorang diri, karena kedua orang tuanya ada
keperluan di desa tetangga. Seruni hanya ditemani oleh seekor anjing
kesayangannya bernama si Toki. Sesampainya di ladang, gadis itu tidak bekerja,
tetapi ia hanya duduk merenung sambil memandangi indahnya alam Danau Toba.
Sepertinya ia sedang menghadapi masalah yang sulit dipecahkannya. Sementara
anjingnya, si Toki, ikut duduk di sebelahnya sambil menatap wajah Seruni seakan
mengetahui apa yang dipikirkan majikannya itu. Sekali-sekali anjing itu
menggonggong untuk mengalihkan perhatian sang majikan, namun sang majikan tetap
saja usik dengan lamunannya.
Memang
beberapa hari terakhir wajah Seruni selalu tampak murung. Ia sangat sedih,
karena akan dinikahkan oleh kedua orang tuanya dengan seorang pemuda yang masih
saudara sepupunya. Padahal ia telah menjalin asmara dengan seorang pemuda
pilihannya dan telah berjanji akan membina rumah tangga yang bahagia. Ia sangat
bingung. Di satu sisi ia tidak ingin mengecewakan kedua orang tuanya, dan di
sisi lain ia tidak sanggup jika harus berpisah dengan pemuda pujaan hatinya.
Oleh karena merasa tidak sanggup memikul beban berat itu, ia pun mulai putus
asa.
“Ya,
Tuhan! Hamba sudah tidak sanggup hidup dengan beban ini,” keluh Seruni.
Beberapa
saat kemudian, Seruni beranjak dari tempat duduknya. Sambil meneteskan air
mata, ia berjalan perlahan ke arah Danau Toba. Rupanya gadis itu ingin
mengakhiri hidupnya dengan melompat ke Danau Toba yang bertebing curam itu.
Sementara si Toki, mengikuti majikannya dari belakang sambil menggonggong.
Dengan
pikiran yang terus berkecamuk, Seruni berjalan ke arah tebing Danau Toba tanpa
memerhatikan jalan yang dilaluinya. Tanpa diduga, tiba-tiba ia terperosok ke
dalam lubang batu yang besar hingga masuk jauh ke dasar lubang. Batu cadas yang
hitam itu membuat suasana di dalam lubang itu semakin gelap. Gadis cantik itu
sangat ketakutan. Di dasar lubang yang gelap, ia merasakan dinding-dinding batu
cadas itu bergerak merapat hendak menghimpitnya.
“Tolooooggg……!
Tolooooggg……! Toloong aku, Toki!” terdengar suara Seruni meminta tolong kepada
anjing kesayangannya.
Si
Toki mengerti jika majikannya membutuhkan pertolongannya, namun ia tidak dapat
berbuat apa-apa, kecuali hanya menggonggong di mulut lubang. Beberapa kali
Seruni berteriak meminta tolong, namun si Toki benar-benar tidak mampu
menolongnnya. Akhirnya gadis itu semakin putus asa.
“Ah,
lebih baik aku mati saja daripada lama hidup menderita,” pasrah Seruni.
Dinding-dinding
batu cadas itu bergerak semakin merapat.
“Parapat[2]…
! Parapat batu… Parapat!” seru Seruni menyuruh batu itu menghimpit tubuhnya.
Sementara si Toki yang mengetahui majikannya terancam bahaya terus menggonggong
di mulut lubang. Merasa tidak mampu menolong sang majikan, ia pun segera
berlari pulang ke rumah untuk meminta bantuan.
Sesampai
di rumah majikannya, si Toki segera menghampiri orang tua Seruni yang kebetulan
baru datang dari desa tetangga berjalan menuju rumahnya.
“Auggg…!
auggg…! auggg…!” si Toki menggonggong sambil mencakar-cakar tanah untuk memberitahukan
kepada kedua orang tua itu bahwa Seruni dalam keadaan bahaya.
“Toki…,
mana Seruni? Apa yang terjadi dengannya?” tanya ayah Seruni kepada anjing itu.
“Auggg…!
auggg…! auggg…!” si Toki terus menggonggong berlari mondar-mandir mengajak
mereka ke suatu tempat.
“Pak,
sepertinya Seruni dalam keadaan bahaya,” sahut ibu Seruni.
“Ibu
benar. Si Toki mengajak kita untuk mengikutinya,” kata ayah Seruni.
“Tapi
hari sudah gelap, Pak. Bagaimana kita ke sana?” kata ibu Seruni.
“Ibu
siapkan obor! Aku akan mencari bantuan ke tetangga,” seru sang ayah.
Tidak
berapa lama kemudian, seluruh tetangga telah berkumpul di halaman rumah ayah
Seruni sambil membawa obor. Setelah itu mereka mengikuti si Toki ke tempat
kejadian. Sesampainya mereka di ladang, si Toki langsung menuju ke arah mulut
lubang itu. Kemudian ia menggonggong sambil mengulur-ulurkan mulutnya ke dalam
lubang untuk memberitahukan kepada warga bahwa Seruni berada di dasar lubang
itu.
Kedua
orang tua Seruni segera mendekati mulut lubang. Alangkah terkejutnya ketika
mereka melihat ada lubang batu yang cukup besar di pinggir ladang mereka. Di
dalam lubang itu terdengar sayup-sayup suara seorang wanita: “Parapat… !
Parapat batu… Parapat!“Pak, dengar suara itu! Itukan suara anak kita! seru ibu
Seruni panik.
“Benar,
bu! Itu suara Seruni!” jawab sang ayah ikut panik.
“Tapi,
kenapa dia berteriak: parapat, parapatlah batu?” tanya sang ibu.
“Entahlah,
bu! Sepertinya ada yang tidak beres di dalam sana,” jawab sang ayah cemas.
Pak
Tani itu berusaha menerangi lubang itu dengan obornya, namun dasar lubang itu
sangat dalam sehingga tidak dapat ditembus oleh cahaya obor.
“Seruniii…!
Seruniii… !” teriak ayah Seruni.
“Seruni…anakku!
Ini ibu dan ayahmu datang untuk menolongmu!” sang ibu ikut berteriak.
Beberapa
kali mereka berteriak, namun tidak mendapat jawaban dari Seruni. Hanya suara
Seruni terdengar sayup-sayup yang menyuruh batu itu merapat untuk
menghimpitnya.
“Parapat…
! Parapatlah batu… ! Parapatlah!”
“Seruniiii…
anakku!” sekali lagi ibu Seruni berteriak sambil menangis histeris.
Masyarakt
yang mendatangi di tempat itu berusaha untuk membantu. Salah seorang
diantaranya mengulurkan seutastampar (tali) sampai ke dasar lubang, namun
tampar itu tidak tersentuh sama sekali. Ayah Seruni semakin panic melihat
keadaan anaknya. Ia pun memutuskan untuk menyusul putrinya terjun ke dalam
lubang batu.
“Bu,
pegang obor ini!” perintah sang ayah.
“Ayah
mau ke mana?” tanya sang ibu.
“Aku
mau menyusul Seruni ke dalam lubang,” jawabnya tegas.
“Jangan
ayah, sangat berbahaya!” cegah sang ibu.
“Benar
pak, lubang itu sangat dalam dan gelap,” sahut salah seorang warga.
Akhirnya
ayah Seruni mengurungkan niatnya. Sesaat kemudian, tiba-tiba terdengar suara
gemuruh. Bumi bergoyang dengan dahsyatnya seakan hendak kiamat. Lubang batu itu
tiba-tiba menutup sendiri. Tebing-tebing di pinggir Danau Toba pun berguguran.
Ayah dan ibu Seruni beserta seluruh warga berlari ke sana ke mari untuk
menyelamatkan diri. Mereka meninggalkan mulut lubang batu, sehingga Seruni yang
malang itu tidak dapat diselamatkan dari himpitan batu cadas.
Beberapa
saat setelah gempa itu berhenti, tiba-tiba muncul sebuah batu besar yang
menyerupai tubuh seorang gadis dan seolah-olah menggantungrapa saat setelah
gempa itu berhenti, tiba-tiba muncul sebuah batu besar yang menyerupai tubuh
seorang gadis dan seolah-olah menggantung pada dinding tebing di tepi Danau
Toba. Masyarakat setempat mempercayai bahwa batu itu merupakan penjelmaan
Seruni yang terhimpit batucadas di dalam lubang. Oleh mereka batu itu kemudian
diberi nama “Batu Gantung”. Beberapa hari kemudian, tersiarlah berita tentang
peristiwa yang menimpa gadis itu. Para warga berbondong-bondong ke tempat
kejadian untuk melihat “Batu Gantung” itu. Warga yang menyaksikan peristiwa itu
menceritakan kepada warga lainnya bahwa sebelum lubang itu tertutup, terdengar
suara: “Parapat… parapat batu… parapatlah!”Oleh karena kata “parapat” sering
diucapkan orang dan banyak yang menceritakannya, maka Pekan yang berada di tepi
Danau Toba itu kemudian diberi nama “Parapat”. Parapat kini menjadi sebuah kota
kecil salah satu tujuan wisata yang sangat menarik di Provinsi Sumatera Utara,
Indonesia.Batu tersebut memang benar menggantung dibawah tebing dan tidak
terjatuh. Ukurannya pun sekitar 2 meter dan menyerupai tubuh manusia.Batu
tersebut memang benar menggantung dibawah tebing dan tidak terjatuh. Ukurannya
pun sekitar 2 meter dan menyerupai tubuh manusia.